Selasa, 25 November 2014

Secangkir Teh Panas Mujarab


Sedari malam suhu tubuh ku trus meningkat. Waktu menunjukkan pukul 03.05 dini hari. Demam ini sungguh menyiksaku. Ku lihat ibuku selalu berusaha menenangkanku. Membelai rambutku, membacakan dongeng, bernyanyi lagu kesukaan ku dengan nada lirih seperti memelas.

Usiaku yang masih terbilang kecil dan masih duduk dibangku Taman Kanak Kanak.

Tidak hanya ibuku yang mencoba berbagai macam cara membuatku berhenti menangis bahkan sebisa mungkin tidur. Dia adalah ayahku.

Ini kali pertama aku menginjakkan kaki ku dirumah baruku. Mereka orang tuaku bilang ini yang dinamakan penyesuaian. Mungkin karena dulu ketika bayi ku dirawat oleh nenekku di rumah tuanya.

Demam itu semakin menyiksaku. Mulailah aku memanggil nama dia nenekku. Dibawalah aku segera. Setibanya dipintu dapur ibuku mengetuk pintu yang terbuat dari bambu. "Mbok,, mbok,, mbok buka pintunya," Bergegas dia bertanya siapa? Ini cucumu, jawab ayahku terbata-bata.

Tanpa banyak kata dia pegang jidad ku yang semakin memanas. Diambillah segenggam daun kelapa kering, nyalakan api dan mulailah memasak air. Ini cara tradisional jaman dulu. Sembari menunggu sesendok gula dan teh bandol yang tersaring telah siap dicangkir. Air mendidih, tuang dan segera minum. Inilah yang namanya secangkir teh panas mujarab.

Tenang, tidur hingga pagi menyapa. Sang surya pun memecah gelap.
Ayam-ayam sibuk mencari makan.
Aku semakin lelap dengan bantal kucelku.

Matur Sembah Nuwun "Mbok"


Kamis, 06 November 2014

Pesan Kala Senja


Ayunan itu mengingatkanku pada masa kecilku. Tertawa, ceria, gembira dan bahagia. Selalu dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Sengaja dibuat oleh ayahku digantung dipohon rambutan. Dialah super heroku. Itu julukan yang tepat buat ayahku.

Senja dikala itu indah, merah merona. Sendiri aku bermain ayunan. Melamun karna super heroku memarahiku. Haah.. "Hanya karna ulahku yang menyebalkan tanpa alasan". Hanya kesal sekaligus benci yang aku rasa. Lalu dengan sadarku aku tau. Ayahku datang padaku dan berbisik lirih ditelingaku yang sengaja kuselipkan bunga sepatu. "Ngger mbesok bakale kowe gedhe, lan masalah iku yo tansoyo gedhe, sing pinter milah-milah lan milih, jujur kui nomer siji, mlaku sak mlaku sing ngati-ngati". Masih terdiam dan tetap membisu. Dengan watak kakuku.

Tiada yang bisa kembali lagi. Masa itu telah hilang. Hanya serba-serbi kenangan yang tertinggal dibenakku. Kini ayunan itu mulai merapuh. Saksi bahagiaku dan pesan dikala senja.

Trimakasih ayahku.


Sayang..
Kerjamu selalu sampai larut malam.
Jangan sampai membuat otakmu kram. Jaga kondisimu?. Diluar sana dingin mulai mencekam.

Sayang? Kamu tau nggak? Aku bosan. Setiap hari hanya jejaring sosial perantara kita. Aku diteras, dibawah lampu remang-remang ku sendirian. Memandang luas lalu lalang jalanan. Aku hanya berharap melihatmu dari kejauhan.